Saturday, June 06, 2009

antara Hanung, Ahmad Dahlan dan Peter Drucker


beberapa waktu lalu, dalam pleno tertutup Pengurus Pusat Muhammadiyah aku presentasi terkait hajatan besar yang bakalan digelar 2010. Yaitu Muktamar 1 Abad Muhammadiyah. Sehabis aku presentsi giliran Hanung Bramantyo, sutradara muda yang lagi naik daun, alumni Muhi (SMA Muhammadiyah 1) Yogyakarta. Hanung presentasi rencana pembuatan film yang mengangkat kisah historis KH. Ahmad Dahlan pendiri Muhammadiyah. Di hadapan bapak-bapak pimpinan Muhammadiyah, Hanung merasa betemu lagi dengan "bapak-bapak saya". Film yang merupakan "panggilan jiwa" Hanung yang tumbuh dan besar di lingkungan Muhammadiyin ini akan digarap dengan all out. "Bukannya saya tidak percaya kepada orang lain, tetapi film ini sungguh memiliki arti buat saya dan juga Muhammadiyah. Jadi, saya ingin orang yang menggarapnya adalah orang yang memang benar-benar mengetahui apa dan siapa sosok Ahmad Dahlan" (Republika, Jumat 29 Mei 2009).

Hanung begitu 'fasyih' mempresentasikan 'proyek' tersebut, lengkap dengan dokumentasi Masjid Kauman, Malioboro, Alun-alun dan sebagainya dalam visual foto-foto kuno. Hingga akhirnya sampai pada angka-angka, biaya yang dibutuhkan. Dan jumlahnya belasan 'M'. Dengan asumsi warga Muhammadiyah 30% dari penduduk Indonesia, maka 'dana awal' tersebut bukan menjadi masalah, karena dalam kurun satu tahun uang tersebut bisa bekembang dua kali lipat. Hanung mencontohkan keberhasilannya 'menjual' Ayat-ayat Cinta. Demikian juga keberhasilan Laskar Pelangi yang begitu menghebohkan, meski bukan besutan Hanung. Karena waktu itu kebetulan aku ikut mendengarkan presentasinya, maka aku katakan kalau Ayat-ayat Cinta dan Laskar Pelangi adalah dua film yang diangkat dari novel yang cukup menghebohkan juga. Bagaimana dengan novel KH. Ahmad dahlan ? Nggak ada!. Jawaban Hanung mencerminkan sebagai sosok yang profesional tidak hanya dalam masalah mengatur akting para pemerannya, tapi juga tahu betul bisnis perfilman dan peredarannya. Sebelum film tersebut dilaunching pada saat Muktamar 1 abad Muhammadiyah yang bakal dilaksanakan di Yogyakarta Juli 2010, maka isu-isu Ahmad Dahlan akan terus dihembus-hembuskan. Lagu-lagu wajib Muhammadiyah seperti "Sang Timur" dinyanyikan oleh penyanyi papan atas, bahkan dibikin ringtone. Ahmad Dahlan dihidupkan kembali dalam benak kita, dalam rangka untuk siap menjemput kehadiran film tersebut.
Peter F Drucker, bapak manajemen modern dari Austria dalam sebuah statemennya mengatakan "Sales is antitesis of marketing". Koq bisa? penjualan berlawanan dengan pemasaran? Itulah trend pemasaran yang sedang terjadi sekarang. Pemasaran bukan semata-mata ditujukan untuk penjualan. Pemasaran lebih bertujuan untuk mengkondisikan kita agar siap mengonsumsi produk/jasa tersebut. Maka ketika keluar rumah untuk 'siap' membeli shampo anti ketombe, sebenarnya karena kita sudah di'racuni' oleh pemikiran bahwa ketombe bikin gak PeDe, ketombe bikin malu, ketombe bikin hidup kita gak nyaman... Dan siapa yang menciptakan ketakutan tersebut sehingga kita merasa perlu dan mendesak untuk mengonsumsi sahmpo anti ketombe? Itulah aktifitas pemasaran yang dilakukan oleh produsen shampo. Maka ketika ketakutan sudah sedemikian membuncah, menggelisahkan, merisaukan... dengan munculnya produk 'penyelamat' muka kita, langsung disambut dengan 'ikhlas' untuk mengonsumsinya. Masih banyak contoh lain yang mungkin kita sering mengalaminya. Dalam istilah lain yang lebih 'ilmiah' adalah mengedukasi pasar dulu, sebelum produk diluncurkan. Mungkin kita jarang menyadari hal tersebut, tapi inilah faktanya.
Di penghujung tulisan ini, bukan berarti gak boleh membeli shampo anti ketombe, apalagi melarang nonton film Ahmad Dahlan, tapi aku mencoba membangun kesadaran minimal dari diriku sendiri, agar tidak terlalu 'penurut' pada era kapitalis (atau neolib) sehingga menumpulkan sensifitas naluri kita. Uang memang maha bijaksana, dan uang adalah saksi yang paling jujur ketika kita berbenturan dengan yang namanya keikhlasan.

Labels:


Selanjutnya...